Kamis, 10 Juli 2008

Benarkah Konsumen Dirugikan Kartel SMS?

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan enam operator telekomunikasi bersalah karena membentuk kartel kesepakatan harga untuk layanan pesan singkat (SMS). Akibatnya, konsumen pun dirugikan triliunan rupiah. Benarkah konsumen telah dirugikan?Pengamat Ekonomi Pande Radja Silalahi mengaku tak setuju konsumen telah dirugikan. "KPPU dalam menghitung consumer loss lebih banyak salah daripada benarnya,” tegasnya kepada sejumlah media. Benarkah demikian?
Sebelumnya, pada pertengahan Juni 2008 lalu, KPPU memutuskan PT Telkomsel, PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkom Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Mobile-8 Telecom Tbk, dan PT Smart Telecom, telah melanggar pasal 5 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.Akibat putusan itu, KPPU pun mendenda Telkomsel dan XL masing-masing Rp 25 miliar, Telkom Rp 18 miliar, Mobile-8 Rp 5 miliar, dan BTel Rp 4 miliar. Tak terima, semua operator yang bermasalah sepakat untuk banding ke Pengadilan Negeri. Saat ini Mahkamah Agung masih menentukan pengadilan mana yang dipilih mengingat alamat masing-masing operator berbeda. Dalam putusannya, KPPU juga memaparkan tentang consumer loss atau kerugian pelanggan akibat terjadinya praktik kartel SMS tersebut. Selama periode 2004 hingga 1 April 2008 konsumen disebut telah mengalami kerugian Rp 2,827 triliun akibat seragamnya tarif SMS lintas operator: yakni Rp 250 sampai Rp 350.Pelanggan Telkomsel dianggap mengalami kerugian terbesar, Rp 2,1 triliun. Disusul oleh pelanggan XL Rp 346 miliar, Telkom Rp 173,3 miliar, Bakrie Telecom Rp 62,9 miliar, Mobile-8 Rp 52,3 miliar, dan Smart Telecom Rp 0,1 miliar.Kerugian tersebut dihitung berdasarkan hilangnya kesempatan dari konsumen untuk mendapatkan tarif SMS yang lebih rendah dan hilangnya peluang menggunakan layanan SMS yang lebih banyak pada harga yang sama. Serta kerugian intangible akibat terbatasnya alternatif pilihan.Saat membacakan putusan, Ketua Majelis Komisi KPPU Dedie Martadisastra menjelaskan, perhitungan consumer loss dilakukan dengan cara mendapatkan selisih antara harga kartel minimum Rp 250 dengan harga kompetitif Rp 114 dikalikan dengan minimal keuntungan yang didapat oleh operator dari SMS lintas pelanggan 16% setelah itu dikalikan dengan pendapatan dari SMS masing-masing operator selama empat tahun yakni 30%.Harga kompetitif Rp 114 yang didapat oleh KPPU dengan menggunakan perhitungan tarif interkoneksi Rp 76 ditambah biaya Retail Service Activities Cost (RSAC) sebesar 40% dari biaya interkoneksi dan margin keuntungan 10% dari biaya interkoneksi.
Masih Bisa Didebat
Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar menganggap angka yang dikeluarkan KPPU masih dapat diperdebatkan karena acuan yang digunakan oleh lembaga tersebut adalah biaya interkoneksi untuk 2007. Berdasarkan hitungan pada tahun tersebut biaya produksi SMS di luar biaya aktivitas retail dan margin keuntungan adalah Rp 76. "Sekarang biaya produksi SMS sekitar Rp 52. Jadi perhitungan KPPU bisa diperdebatkan," katanya.Berdasarkan literarur ekonomi, consumer loss adalah selisih antara harga kerelaan membayar suatu produk oleh konsumen dengan harga pokok sebenarnya dari produk tersebut. Kerugian konsumen terjadi akibat tidak adanya pilihan lain selain hanya produk tersebut yang ada di pasar. "Kondisi ini dapat terjadi akibat monopoli atau produk dipatenkan seperti di industri farmasi melalui obat paten," kata Pande.Menurut dia, pembuktian consumer loss sangat sulit karena tergantung pada preferensi konsumen. "Di industri telekomunikasi bagaimana mau dibilang ada monopoli atau tidak ada pilihan, persaingannya tajam sekali," katanya lagi.Selain itu, lanjutnya, terdapat beberapa dasar perhitungan yang digunakan KPPU masih bisa diperdebatkan seperti periode perhitungan yang tidak konsisten, perhitungan pendapatan operator yang berdasarkan Average Revenue Per User (ARPU) dikalikan jumlah pelanggan, dan penetapan besaran RSAC serta margin keuntungan."Padahal, setiap tahun komponen seperti ARPU, RSAC, dan margin keuntungan struktur biayanya berubah-ubah alias tidak bisa dipatok dengan angka minimum."Belum lagi, lanjutnya, patokan pendapatan operator dari SMS sebesar 16%, sejatinya berdasarkan kontribusi SMS lintas operator milik Telkomsel. Sebagai penguasa pangsa pasar 56%, Pande menilai wajar kontribusi SMS lintas operator bagi Telkomsel rendah. Kondisi ini tentu berbeda jika dijadikan acuan operator dengan pangsa pasar kecil."Hal yang lebih aneh adalah penetapan margin sebesar 10%. Di era pasar bebas tidak pernah ada besaran margin keuntungan ditentukan oleh pihak lain. Jika ditentukan sebesar itu, tentu lebih baik investor meletakkan uangnya di bank karena bunga bank saja besarnya 15%. Inilah bukti kongkrit bahwa perhitungan consumer loss itu terlalu dipaksakan oleh KPPU," tukas Pande"Jika dihitung berdasarkan inflasi, konsumen malah mendapatkan consumer surplus (keuntungan) 60%. Harga Rp 350 itu kan tetap terus, sementara inflasi di Indonesia semakin tinggi. Jadi, bukannya ini keuntungan bagi konsumen," ujarnya lagi. Menurut Pande, keluarnya hitungan consumer loss oleh KPPU adalah upaya dari lembaga tersebut untuk mencari simpati publik mendukung keputusan yang mereka buat. "Hal ini dibuktikan dengan keluarnya pernyataan yang mempersilahkan anggota masyarakat untuk menuntut ke pengadilan berdasarkan data yang dimiliki KPPU. Ini kan seperti menyuruh masyarakat ramai-ramai menggebuk operator. Padahal, keluarnya keputusan ada kartel tersebut sudah memukul citra para operator," tandasnya.
---------------
So? Kartel SMS itu sebenernya ada ato memang diada2kan oleh KPPU, mengingat hitung2an KKPU sangat tidak mempertimbangkan periode perhitungan ARPU, pangsa pasar n faktor2 consumer surplus. ..?

1 komentar:

deus_ex mengatakan...

KPPU ?

hmmh ... hanya segerombolan orang gak punya kerjaan yang berusaha menunjukkan eksistensinya yang sejatinya gak terlalu diperlukan di dunia kompetisi seluler yang sudah sedemikian ketat

harusnya mereka melindungi korporat dalam negeri dari persaingan tidak sehat dengan korporat asing

nyatanya baru menghadapi korporat singapur aja sudah bis dikibulin

......................gak jelas